Apa kiranya yang terbayangkan saat kita disodori kata “waktu senggang”? Pergi berlibur? Jalan-jalan sambil belanja di mall dan factory outlet? Pergi menonton ke bioskop? Bertamasya? Silahkan bayangkan sendiri kegiatan “waktu senggang” lainnya yang lazim bagi Anda. Namun, perhatikan lebih seksama, saat ini terlihat bahwa bayangan kita tentang waktu senggang lebih terkait dengan rekreasi. Rasanya nyaris tidak pernah “waktu senggang” dikaitkan lagi dengan reflektivitas dan kontemplasi. Sebagaimana disinyalir Bambang Sugiharto, di waktu senggang manusia kontemporer kini cenderung “pergi, ke luar dari diri menuju perangkap-perangkap eksterior”, bepergian ke tempat-tempat yang disebutkan di atas.
Adalah Josef Pieper, pemikir Jerman, yang mengamati hilangnya pemaknaan manusia kontemporer akan waktu senggang. Waktu senggang merupakan saat bagi manusia untuk “kembali kepada diri”, menikmati hidupnya sebagai manusia. Karenanya, waktu senggang di sini tidak dipahami sebagai saat untuk bermalas-malasan, karena justru merupakan waktu paling produktif. Sebagaimana dikemukakan Anton Subianto: “Aristoteles dan Thomas Aquinas berpendapat bahwa waktu senggang adalah saat di mana manusia hidup secara paling penuh. Itulah saat di mana manusia bereksistensi sesuai dengan esensinya sebagai manusia. Maka, pelenyapan waktu senggang dari kehidupan manusia merupakan penghapusan visi kemanusiaan tersebut. Padahal Aristoteles pernah berkata bahwa kita bekerja agar dapat menikmati waktu senggang.”
Sekolah dan Waktu Senggang
Skole dalam bahasa Yunani bermakna waktu senggang. Sementara dalam bahasa Latin adalah scola atau otium, yang berarti “luang” atau “rileks”. Kata skole inilah yang diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi school dan leisure. Karenanya, sekolah sebagai tempat pendidikan dan pengajaran semula memiliki konotasi “waktu senggang”.
Pada masa Yunani kuno, masyarakat polisnya terbagi menjadi dua lapisan, yaitu orang bebas dan para budak. Para budak adalah orang-orang yang tenggelam dalam aktivitas fisik berbentuk kerja kasar, di ranah praksis. Perbudakan membuat mereka tak bisa mengelaborasi waktu senggangnya seperti orang bebas. Sementara orang bebas mempunyai banyak waktu senggang. Dalam waktu senggang mereka mengeksplorasi berbagai dimensi kehidupan manusia hingga tingkatan yang mendalam dan mendasar.
Pada zaman Helenik dan Helenistik, juga Abad Pertengahan, dikenal istilah artes liberales yang bermakna “keterampilan bagi orang bebas”, serta mengandung pengertian bahwa suatu aktivitasdihargai dengan kehormatan. Konsep ini dipertentangkan dengan artes serviles yang bermakna “keterampilan bagi budak”, dan mengandung pengertian bahwa suatu aktivitas dihargai dengan upah material. Artes liberales ini biasanya hanya diperuntukkan bagi kaum aristokrat dan klerik, karena merekalah yang memiliki banyak waktu senggang. Namun, di dunia pendidikan kita saat ini, pengertian pendidikan sebagai “waktu senggang”, yaitu untuk kembali ke diri, telah lenyap.
Sebagaimana dituliskan Anton Subianto: “Menurut Josef Pieper, hilangnya penghargaan pada waktu luang terjadi karena pendidikan (eksakta). Baginya, pendidikan bukanlah semata pengetahuan diskursif dengan tujuan analisis, manipulasi, dan rekonstruksi realitas yang adalah ciri khas ilmu-ilmu eksakta. Pengetahuan ini, melalui investigasi, artikulasi, kombinasi, komparasi, klasifikasi, abstraksi, deduksi, dan justifikasi, mau memberi kita kekuatan dan kekuasaan untuk mengontrol dunia. Sayangnya, pengetahuan macam ini justru tidak berbicara sedikit pun tentang panggilan dunia asli, seruan untuk menjadi manusia.”
Kini, kondisi pendidikan pun semakin diperparah dengan adanya merkantilisme, yaitu, komersialisasi pengetahuan dan informasi di era kapitalisme global. Pepatah Latin berbunyi: “non scuola sed vitae discimus”, kita belajar bukan untuk sekolah (ujian, nilai, keahlian, kepintaran, ijazah, kemudahan mendapat pekerjaan), tetapi pertama-tama untuk hidup. Namun, saat ini pendidikan lebih dipandang sebagai investasi untuk memperoleh “upah material” yang besar di kemudian hari. Bahkan, dalam salah satu pidatonya, Presiden SBY menghimbau agar para pendidik bisa mengarahkan dan menyiapkan para peserta didiknya untuk membuka lapangan kerja. Seolah pendidikan berfungsi agar menjadikan orang kaya raya. Padahal, konon 9 dari 10 pengusaha sukses bukanlah sarjana. Bukan hanya itu. Banyak pedagang, baik kaki lima maupun toko kecil pinggir jalan, yang sukses mendulang untung hingga jutaan rupiah per harinya. Namun, kasarnya, untuk sukses berdagang seperti itu, tidak lulus SD pun bukan masalah.
Hal ironis lainnya ditemukan dalam salah satu liputan suplemen Kampus yang meliput tentang kebiasaan para mahasiswa di Bandung menghabiskan “waktu senggang” sesudah kuliah untuk clubbing atau nongkrong di mal dan restoran fast food. Alasan yang mereka kemukakan umumnya adalah “untuk melepaskan penat dan stress setelah kuliah seharian”. Ini sebenarnya mengherankan. Permasalahannya, mayoritas mahasiswa di Indonesia tidak dikenal sebagai pembaca buku, memiliki gairah keilmuan yang besar, atau sering mengunjungi perpustakaan. Banyak dari mereka bahkan bisa lulus menjadi sarjana tanpa pernah menamatkan satu buku keilmuan yang menjadi pilihan kuliahnya, dan skripsi yang asal jadi. Bukan hanya itu, di berbagai kompleks perumahan yang banyak menjadi tempat kost mahasiswa, biasanya menjamur tempat bermain dan menyewa play station, atau warnet yang menyediakan game online. Para mahasiswa sering sekali tampak bersaing dengan anak-anak memenuhi tempat tersebut. Sepertinya berlebihan apabila belajar seharian di bangku kuliah telah membuat mereka sumpek dan stress.
Penyebab ketidakbergairahan para mahasiswa tersebut memang banyak. Salah satunya adalah atmosfir pendidikan yang feodal, tertutup, enggan berubah mengikuti progres keilmuan. Selain itu, pola pendidikan dan pendidik yang tidak inspiratif (pepatah: “guru yang baik itu mengajari, guru sejati itu memberi inspirasi”). Dan yang paling mendasar adalah banyaknya mahasiswa “salah jurusan” dikarenakan tidak ditanamkan visi tentang fungsi pendidikan bagi hidupnya; yang ditanamkan hanyalah pandangan bahwa pendidikan bisa membuat kaya raya.
Permasalahannya, di kalangan pendidik seringkali mengakar kuat keyakinan bahwa pendidikan bisa mencetak seseorang menjadi apa pun. Banyaknya mahasiswa yang tidak bersemangat kuliah, bahkan drop out, mengindikasikan bahwa tidak semua orang akan menemukan energi minimalnya di sembarang bidang. Energi minimal merupakan semacam bayangan jati diri individu. Itu merupakan kemampuan utama yang dimiliki seseorang yang mengalir mudah ketika mengerjakan sesuatu.
Karena itu, sudah seharusnya pendidikan dikembalikan kepada semangat “waktu senggang”, yaitu dalam pengertian “kembali kepada diri”. Pendidikan seharusnya bisa mengantarkan peserta didiknya untuk mengenali energi minimalnya. Dengan begitu, peserta didik bisa merintis jalan ke arah pengenalan diri autentiknya. Maka, pendidikan pun akan berfungsi sebagai panggilan untuk menjadi manusia.
Kerja dan Waktu Senggang
Waktu senggang sebenarnya dipahami juga sebagai “human action on holiday” (holy day alias hari kudus). Hal ini mengingatkan kembali kepada tradisi hari Sabat Bani Israil: manusia harus beristirahat di hari ke tujuh sebagaimana Tuhan berhenti mencipta di hari ke tujuh. Namun, beristirahat di waktu senggang bukanlah diam pasif bermalas-malasan, tetapi mengkuduskan hari Tuhan yang juga merupakan hari manusia.
Namun, seperti dikemukakan di atas, manusia kontemporer banyak yang telah kehilangan waktu senggang. Akibatnya mereka semakin jarang bersentuhan dengan “totalitas diri”-nya. Dalam waktu senggang, manusia punya banyak kesempatan berkontemplasi tentang yang sublim, yaitu, pengalaman eksistensial penting yang menjadi akar makna hidup. Seperti diidentifikasi oleh Bambang Sugiharto: “…dalam budaya imaji audio-visual elektronik agaknya ‘yang sublim’ itu adalah histeria tanpa alasan atas pesona fiksi imaji-imaji itu, keterpesonaan tak terjelaskan terhadap kekuasaan dan kecerdasan elektronik. Baudrillard menuding pasar imaji sebagai sekadar tendensi untuk menguasai dan menggoda saja, tanpa makna, tanpa dasar dan tanpa acuan. Bila itu benar, maka yang terjadi dalam pasar global kini hanyalah pemompaan adrenalin tanpa kepuasan, pemancingan kuriositas tanpa pernah mendapatkan, pembentukan keinginan tanpa tujuan. Dalam budaya macam ini memang tak ada tempat bagi kontemplasi dan refleksi atas substansi. Segala energi terserap oleh pesona eksterioritas hasrat dan imaji (kerja, belanja, mengkonsumsi, pergi-pergi).”
Kadang menakjubkan melihat berbondong-bondong orang Jakarta merayakan waktu senggang dengan berbelanja di berbagai factory outlet Bandung. Seperti tengah menggeluti suatu urusan yang tak pernah tuntas setiap minggunya. Hal itu mengisyaratkan bahwa kini waktu senggang hanya bermakna “jeda” demi peluang lebih banyak untuk mengonsumsi, dan kebudayaan pun dikuasai oleh pengelolaan ilusi (budaya media dan konsumerisme).
Salah satu penyebab hilangnya pemaknaan waktu senggang sebagai hari kudus untuk kembali kepada diri adalah perubahan pola kerja manusia. Di kota-kota besar tidak begitu sulit untuk menemukan orang-orang yang terjebak “hidup untuk kerja” ketimbang “kerja untuk hidup”. Pieper mengutip Thomas Aquinas: “kemalasan justru adalah kemandulan menggeluti waktu senggang, dan kehilangan kejedaan menyebabkan pengkultusan terhadap kerja, karena kerja di pandang hanya sebagai demi kerja semata.” Dunia manusia menjadi begitu gaduh dengan urusan bisnis dan kerja.
Pieper mensinyalir bahwa pada masa ini kerja telah menjadi sebentuk “agama”. Sebagaimana dikemukakan Fransiskus Simon: “Kerja menjadi satu-satunya sarana yang dimutlakkan, hingga tak heran bahwa ia lantas mudah mendehumanisasi kemanusiaan, seperti pesan dibalik ungkapan ‘kita mesti bekerja seperti Herkules’. Kerja tak lagi menjadi ekspresi eksistensi manusia, tak lagi bernilai sakral, tak lagi mempunyai fungsi sosial. Kerja telah menginvasi berbagai ranah kehidupan atas nama prinsip utilitarian, maka manusia terjerembab ke lembah rutinitas, otomatisasi, dan mekanisasi.”
Kini, peradaban manusia identik dengan kerja total, dan dunia pendidikan pun berperan mendukung hal tersebut. Karenanya, Pieper menggunakan mitos Sisifus, yang dihukum Dewa untuk terus menerus menaikan batu ke atas gunung dan menggelindingkannya, sebagai analogi bahwa kerja merupakan rantai abadi yang mengikat manusia, tanpa manusia itu sendiri menikmati buah makna dari pekerjaannya. Waktu senggang yang dipahami dalam konteks nilai-nilai kerja seperti itu lebih tampak sebagai kemalasan (untuk kembali kepada diri).
Di Amerika, misalnya, ada pengacara yang tidak pernah istirahat makan siang. Dia makan siang sambil berjalan ke sana kemari untuk bekerja. Atau suami istri yang saking sibuknya bekerja, harus membuat janji untuk bisa meluangkan waktu berduaan. Berbagai kajian terkini menunjukkan bahwa jumlah waktu yang diabdikan untuk bekerja di Amerika Serikat sedang berada di puncaknya. Namun terdapat pula berbagai trend teknologi yang dapat berujung pada pengurangan hari kerja. Sebuah artikel dalam New York Times (24 November 1993) menunjukkan bahwa ada gerakan serius di Eropa untuk membatasi kerja menjadi empat hari seminggu.
Bayangkan Jakarta. Kemacetan yang semakin parah, sedotan rutinitas kerja yang monoton dan melelahkan, serta interaksi antar manusia yang tidak ramah. Orang harus berangkat kerja sewaktu masih subuh, agar tidak terjebak macet. Sesampainya di kantor, mereka bekerja. Ketika waktu pulang tiba, banyak yang memilih shalat maghrib di kantor, atau mampir dulu di berbagai tempat hiburan, agar bisa menghindari kemacetan. Setelah agak malam, baru mereka mulai merayap pulang. Permasalahannya, pulang sore atau agak malam, biasanya sama-sama sampai di rumah pada waktu yang sama juga. Sesampainya di rumah, badan sudah terlalu lelah untuk menikmati waktu senggang dengan kembali kepada diri. Bahkan di akhir pekan, mereka cenderung “pergi keluar dari diri”, menuju perangkap eksterioritas yang dipenuhi imaji dan ilusi.
Zamzam AJT pernah menguraikan bahwa bagi yang beragama Islam, ada mekanisme harian yang merupakan saat bagi penganutnya untuk “menikmati waktu senggang”, yaitu shalat. Dalam hadis disebutkan bahwa “Shalat adalah mi‘raj-nya mu‘minin”. Zamzam menjelaskan: “Maka, di dalam kata shalat tersirat suatu dinamika atau proses perjalanan yang sifatnya menaik (‘uruj), dan secara eksplisit bentuk ibadah shalat yang dicontohkan Nabi Saw mengisyaratkan adanya perubahan bertahap dari suatu state ke state yang lain secara tertib. Serangkaian kalimah takbir yang diucapkan dalam ibadah shalat menunjukkan suatu proses kenaikan (mi‘raj) bertahap.” Shalat bukanlah jeda yang terlalu sering mengganggu ritme kerja. Justru, setelah shalat (yang khusyu’), orang akan merasakan kemudahan meneruskan pekerjaannya. Selain itu: “Istilah shalat melampaui dari sekadar nama suatu ibadah mahdlah terpenting di dalam agama Islam. Makna spiritual dari kata shalat mencerminkan suatu proses “pengorbitan” setiap ciptaan Allah. Secara spesifik terhadap poros dari suatu amr Allah Swt . Ini diisyaratkan oleh An-Nûr [24]: 41...”
Dalam dua penelitian yang dilakukan terpisah oleh Budi Fajar AM dan Herry Mardianto, mereka memaparkan tentang aktivitas pengikut thariqah di Jakarta dan Bandung. Sudah menjadi kelaziman bahwa pada akhir pekan, banyak orang dari berbagai agama mengikuti aktivitas keagamaan. Begitu juga di kalangan umat Islam. Namun, ada satu hal sangat spesifik di komunitas thariqah tersebut, yaitu waktu senggang yang mereka jalani secara eksplisit dinyatakan untuk ”kembali kepada dan mengenal diri”. Mereka menjalani riyadhah untuk “melatih agar jiwa (nafs) bisa bertahap lepas dari keterikatan terhadap jasad”, setiap minggu mengunjungi mursyidnya untuk mengaji dan menerima bimbingan suluk agar bisa mengena diri yang berarti juga mengenal Allah, serta mengadakan pengajian tafsir Al-Quran yang memuat banyak khazanah tentang “pengenalan diri”. Kedua penelitian ini setidaknya memperlihatkan bahwa di antara deru kebisingan dunia kerja kota besar, masih ada orang-orang yang berupaya untuk menghindari waktu senggangnya dari perangkap eksterioritas.
Karenanya, sudah semestinya ideologi merkantilisme dihilangkan dari dunia pendidikan. Pendidikan dikembalikan sebagai “waktu senggang untuk kembali kepada diri” dengan mengolah energi minimal peserta didiknya. Dengan demikian, diharapkan kelak nantinya mereka pun akan bekerja di bidang energi minimalnya, menghasilkan karya-karya yang berguna dan bukan “asal mendapat upah material”. Sehingga, manusia bisa senantiasa merayakan waktu senggangnya baik dalam dunia pendidikan maupun kerja, mencelup hari-harinya dengan aura “hari kudus”-nya.[]